De Javu


Déjà vu


Déjà vu adalah sebuah frasa Perancis dan artinya secara harafiah adalah "pernah lihat". Maksudnya mengalami sesuatu pengalaman yang dirasakan pernah dialami sebelumnya. Fenomena ini juga disebut dengan istilah paramnesia dari bahasa Yunani para (παρα) yang artinya adalah "sejajar" dan mnimi (μνήμη) "ingatan".

Menurut para pakar, setidaknya 70% penduduk bumi pernah mengalami fenomena ini.



Hampir semua dari kita pernah mengalami apa yang dinamakan deja vu: sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya. Peristiwa ini bisa berupa sebuah tempat baru yang sedang dikunjungi, percakapan yang sedang dilakukan, atau sebuah acara TV yang sedang ditonton. Lebih anehnya lagi, kita juga seringkali tidak mampu untuk dapat benar-benar mengingat kapan dan bagaimana pengalaman sebelumnya itu terjadi secara rinci. Yang kita tahu hanyalah adanya sensasi misterius yang membuat kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu.

Keanehan fenomena deja vu ini kemudian melahirkan beberapa teori metafisis yang mencoba menjelaskan sebab musababnya. Salah satunya adalah teori yang mengatakan bahwa deja vu sebenarnya berasal dari kejadian serupa yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau. Bagaimana penjelasan ilmu psikologi sendiri?

Terkait dengan Umur dan Penyakit Degeneratif

Pada awalnya, beberapa ilmuwan beranggapan bahwa deja vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima oleh sebelah mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi yang sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat. Teori yang dikenal dengan nama “optical pathway delay” ini dipatahkan ketika pada bulan Desember tahun lalu ditemukan bahwa orang butapun bisa mengalami deja vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan perabaannya.

Selain itu, sebelumnya Chris Moulin dari University of Leeds, Inggris, telah menemukan pula penderita deja vu kronis: orang-orang yang sering dapat menjelaskan secara rinci peristiwa-peristiwa yang tidak pernah terjadi. Mereka merasa tidak perlu menonton TV karena merasa telah menonton acara TV tersebut sebelumnya (padahal belum), dan mereka bahkan merasa tidak perlu pergi ke dokter untuk mengobati ‘penyakit’nya karena mereka merasa sudah pergi ke dokter dan dapat menceritakan hal-hal rinci selama kunjungannya! Alih-alih kesalahan persepsi atau delusi, para peneliti mulai melihat sebab musabab deja vu ke dalam otak dan ingatan kita.

Baru-baru ini, sebuah eksperimen pada tikus mungkin dapat memberi pencerahan baru mengenai asal-usul deja vu yang sebenarnya. Susumu Tonegawa, seorang neuroscientist MIT, membiakkan sejumlah tikus yang tidak memiliki dentate gyrus, sebuah bagian kecil dari hippocampus, yang berfungsi normal. Bagian ini sebelumnya diketahui terkait dengan ingatan episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi kita. Ketika menjumpai sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda visual, audio, bau, waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indra untuk dicocokkan dengan ingatan episodik kita. Jika tidak ada yang cocok, situasi ini akan ‘didaftarkan’ sebagai pengalaman baru dan dicatat untuk pembandingan di masa depan.

Menurut Tonegawa, tikus normal mempunyai kemampuan yang sama seperti manusia dalam mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa situasi. Namun, seperti yang telah diduga, tikus-tikus yang dentate gyrus-nya tidak berfungsi normal kemudian mengalami kesulitan dalam membedakan dua situasi yang serupa tapi tak sama. Hal ini, tambahnya, dapat menjelaskan mengapa pengalaman akan deja vu meningkat seiring bertambahnya usia atau munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti Alzheimer: kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus akibat kedua hal tersebut membuat kita sulit menentukan apakah sesuatu ‘baru’ atau ‘lama’.

Menciptakan ‘Deja Vu’ dalam Laboratorium

Salah satu hal yang menyulitkan para peneliti dalam mengungkap misteri deja vu adalah kemunculan alamiahnya yang spontan dan tidak dapat diperkirakan. Seorang peneliti tidak dapat begitu saja meminta partisipan untuk datang dan ‘menyuruh’ mereka mengalami deja vu dalam kondisi lab yang steril. Deja vu pada umumnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana tidak mungkin bagi peneliti untuk terus-menerus menghubungkan partisipan dengan alat pemindai otak yang besar dan berat. Selain itu, jarangnya deja vu terjadi membuat mengikuti partisipan kemana-mana setiap saat bukanlah hal yang efisien dan efektif untuk dilakukan. Namun beberapa peneliti telah berhasil mensimulasikan keadaan yang mirip deja vu.

Seperti yang dilaporkan LiveScience, Kenneth Peller dari Northwestern University menemukan cara yang sederhana untuk membuat seseorang memiliki ‘ingatan palsu’. Para partisipan diperlihatkan sebuah gambar, namun mereka diminta untuk membayangkan sebuah gambar yang lain sama sekali dalam benak mereka. Setelah dilakukan beberapa kali, para partisipan ini kemudian diminta untuk memilih apakah suatu gambar tertentu benar-benar mereka lihat atau hanya dibayangkan. Ternyata gambar-gambar yang hanya dibayangkan partisipan seringkali diklaim benar-benar mereka lihat. Karena itu, deja vu mungkin terjadi ketika secara kebetulan sebuah peristiwa yang dialami seseorang serupa atau mirip dengan gambaran yang pernah dibayangkan.

LiveScience juga melaporkan percobaan Akira O’Connor dan Chris Moulin dari University of Leeds dalam menciptakan sensasi deja vu melalui hipnosis. Para partisipan pertama-tama diminta untuk mengingat sederetan daftar kata-kata. Kemudian mereka dihipnotis agar mereka ‘melupakan’ kata-kata tersebut. Ketika para partisipan ini ditunjukkan daftar kata-kata yang sama, setengah dari mereka melaporkan adanya sensasi yang serupa seperti dejavu, sementara separuhnya lagi sangat yakin bahwa yang mereka alami adalah benar-benar deja vu. Menurut mereka hal ini terjadi karena area otak yang terkait dengan familiaritas diganggu kerjanya oleh hipnosis.


baca selengkapnya..


IMAM SYATIBI
Dan Proyek Ushul Fiqh Humanis
Oleh : Humaidi Hambali

“qalilu minka yakfina wa qaliluka layakunu qalilan”
(M. Rasyid Ridha)


Prolog

Al-Kind menjadikan Syatibi sebagai genre ushul fiqh tersendiri, terpisah dari dua aliran ushul fiqh besar yaitu aliran ushul syafi’iyah dan ushul fiqh Hanafiah, al-kind membagi kecendrungan ushul fiqh menjadi lima bagian yaitu : Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan syatibiyah. Wajar jika al-Kind menjadikan syatibi sebagai genre ushul fiqh yang mustaqil, karena proyek maqashid syari’ah yang dilakukan Syatibi dalam magnum opusnya – al-Muwafaqat – bisa dikatakan sebuah jembatan yang menghubungkan antara ushul fiqh mutakalimin dan ushul fiqh fuqaha.
Syatibi meracik sebuah teori ushul fiqh yang berbeda dari masa Syafi’i yang menjadikan fiqh lebih hidup, karena menurut Abid al-Jabiri metodologi ushul fiqh yang di gunakan pada masa Syafi’i bertopang pada asumsi (zhonni) pemaknaan mereka terhadap teks agama dan juga qiyas perkutat pada asumsi, sebab ratio legis atau qiyas berpedoman pada sebuah illah al-hukm, yang di duga para fuqaha sebagai dasar pejustifikasian sebuah perkara, berarti sebuah produk fiqh adalah hasil dari sebuah asumsi, oleh karena itu menjadikan rancang bangun fiqh menjadi rapuh dan rigid karena bertopang pada asumsi
Memang walaupun Syatibi bukanlah sebagai peletak embrio pertama maqasid syari’ah, tapi Syatibi telah menggabungkan antara teori ushul fiqh dengan maqasid syari’ah, karena menggabungkan antara dua teori tersebut adalah sebuah jalan keluar agar ushul fiqh tidak terkungkung pada muara teks, dan menjadikan produk fiqh lebih kapabel dan tidak mengabaikan kemaslahatan manusia, karena sejatinya seperti jargon yang acapkali didengungkan para ushuliyin hukum dibuat Tuhan hanya untuk kemaslahatan hamba, al-hukm wudi’a li maslahah al‘ibad.
untuk lebih memberikan gambaran konkrit tentang Imam Syatibi dan proyek besarnya tentang maqasid syari’ah penulis akan memaparkan sekilas tentang biografinya, karena memang menurut Abdurrahman Adam ‘Ali para penulis biografi tidak menulis secara detail tentang kehidupan Imam Syatibi karena ia dikenal setelah menulis magnum opusnya yaitu muwafaqat fi ushul as-Syari’ah dan al-i’tisham setelah orang banyak mengenal pemikiran brilian Imam Syatibi.
Sekilas Biografi Imam Syatibi

Para penulis biografi sepakat bahwa Nama lengkap Imam Syatibi adalah Ibrahim bin Musa bin Muhammad , Muhammad Makhluf menempatkan Syatibi pada urutan ke 16 dalam tingkatan ahli fiqh Malikiyah cabang Andalusia. kunyah nya adalah Abu Ishaq sedangkan nisbatnya as-Syatibi atau al-Gharnati. Gharnathi dinisbatkan kepada kerajaan yang berkuasa ketika Imam Syatibi hidup (Granada) adapun Syatibi (sativa) adalah sebuah kota di bagian Timur Andalusia. Beliau dilahirkan pada tahun 720 H

Imam Syatibi menghabiskan seluruh waktu hidupnya di Garanada, ia tidak pernah pergi keluar dari Andalusia, karena para pakar sejarah pun tidak pernah menjelaskan bahwa Imam Syatibi pergi keluar dari Andalusia, untuk melakukan Ibadah haji ataupun untuk melaksanakan ekspedisi ilmiyah ke beberapa negara bagian Timur .

Imam Syatibi hidup pada di Granada pada masa kepemimpinan Bani Ahmar, laqab Ahmar ditujukan kepada salah seorang rajanya yang bernama Abu Sa’id Muhammad as-Sadis (761-763H) karena memiliki warna kulit kemerah-merahan. Ketika Bani Ahmar berkuasa, kehidupan masyarakat jauh dari kehidupan yang islami bahkan mereka dipenuhi dengan berbagai khurafat dan bid’ah. Kondisi ini semakin parah ketika Muhammad al-Khamis yang bergelar al-Ghany Billah memegang kekuasaan. Bukan hanya seringnya terjadi pertumpahan darah dan pemberontakan, akan tetapi pada masa itu juga setiap ada orang yang menyeru kepada cara beragama yang sebenarnya malah dituding telah keluar dari agama bahkan acap kali mendapat hukuman yang sangat berat. Akan tetapi setelah kekuasaan di gantikan oleh anak al-Ghany Billah, yaitu Abu al-Hujjaj Yusuf bin Isma’il berubah iklim intelektual menjadi membaik.
Dan ulama yang memegang hak otoritas untuk berfatwa, bukanlah ulama yang kompoten dibidangnya, sehingga tak jarang ulama mengeluarkan fatwa tidak sesuai dengan syari’at, menurut Imam Syatibi ulama harus berprilaku sebagaimana sikap Rasulullah, karena mereka adalah waratsah al-anbiya (pewaris para Nabi) sehingga mereka berprilaku seperti Rasulullah dan mengajarkan manusia hal-hal yang telah disampaikan Rasul melalui sabda agungnya, Imam Syatibi selalu berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah dan memerangi ahlu bid’ah. Imam Syatibi juga terkenal membenci takalluf ia lebih condong untuk bersikap toleransi dan moderat.

Imam Syatibi mencoba meluruskan ulama pada saat itu, ia mencoba mengembalikkan bid’ah ke sunnah tetapi Imam Syatibi di lecehkan dan di cerca, perseteruan terjadi antara ulama Granada dan Imam Syatibi, ulama saat itu selalu berfatwa berlawanan dengan apa yang di sampaikan oleh Imam Syatibi tanpa melihat terlebih dahulu kepada teks. Hal lain yang menjadi sorotan Imam Syatibi waktu itu ialah praktek tasawwuf yang telah melenceng dari ajaran Islam, mereka berkumpul di malam hari dengan berzikir menggunakan suara yang keras dan diakhiri dengan tarian, menurut Imam Syatibi tassawuf yang tidak sesuai dengan ajaran syari’at adalah sebuah kesesatan.

Dan pada masa ketika Imam Syatibi hidup, mayoritas ulama Granada menganut mazhab Malikiyah sampai mereka terlalu fatanisme terhadap mazhab tersebut, setiap orang yang tidak bermazhab Malikiyah akan di cerca bahkan disiksa karena menurut mereka tidak sesuai dengan syariat. masyarakat Andalus memang memegang erat madzhab Maliki ini sejak raja mereka Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman ad-Dakhil yang memerintah dari tahun 173-180 H ia menjadikan madzhab ini sebagai madzhab resmi negara. Walaupun Imam Syatibi sendiri adalah penganut mazhab Malikiyah tetapi ia tetap bersikap toleransi dan moderat.

Menurut salah satu riwayat, kecenderungan Hisyam al-Awwal untuk mengambil madzhab Maliki ini adalah ketika dia bertanya kepada dua orang ulama yang satu bermadzhab Hanafi serta yang lain bermadzhab Maliki. Hisyam al-Awwal saat itu bertanya: “Dari mana asalnya Abu Hanifah itu?” Ulama Hanafi menjawab: “Dari Kufah”. Lalu ia bertanya kembali kepada ulama Maliki: “Dari mana asal Imam Malik?” Ulama Maliki ini menjawab: “Dari Madinah”. Hisyam lalu berkata: “Imam yang berasal dari tempat hijrah Rasulullah Saw cukup bagi kami”

Semua hal itulah yang telah merangsang Imam Syatibi untuk menelorkan master piecenya, al-muwafaqat dan al-i’tisham, dalam al-i’tisham Imam Syatibi membahas secara detail tentang bid’ah dan seluk beluknya, fatanisme dalam bermazhab dan penyelewengan yang di praktekkan kaum sufi waktu itu telah mendorong Imam Syatibi menulis al-muwafaqat untuk menjadikan ilmu syari’ah produk yang didasarkan pada sesuatu yang qath’i, sesuatu yang qath’i adalah teks-teks yang mempunyai makna yang jelas, apa bila sebuah teks tidak mengandung sebuah pen takwil an, berarti teks tersebut qath’iyu dilalah bukanlah teks yang didasarkan pada asumsi , kemudian hal tersebut mengilhami kesadaran metodologis Syathibi untuk melakukan observasi-induktif (istiqra`). Dalam kerja ilmiah Syathibi, observasi-induktif adalah penelitian terhadap seabrek dalil-dalil juz`i-partikular demi capaian sebuah hukum yang universal. Sebuah penelitian yang tentunya tidak terkungkung pada teks, melainkan menguak dan membongkar relung-relung huruf untuk mengambil nilai-nilai maqashid syari'ah .

Intelektualitas Syatibi

Imam Syatibi memulai pengembaraan intelektual sejak kecil, Imam Syatibi memulainya dengan mempelajari ilmu wasail, dan ilmu maqasid. Ia juga tidak berhenti sampai disitu, hampir semua cabang ilmu dipelajari Syatibi secara mendalam untuk bisa mengetahui maksud-maksud dari Syari’at (al-maqasid as-Syari’ah) dan rahasia-rahasianya. Ia mencoba untuk memahami syariah secara mendalam.

Seperti telah di singgung penulis diatas, para penulis biografi tidak menulis secara detail perjalanan hidup Syatibi, mungkin penulis akan paparkan sedikit tentang Guru-guru Imam Syatibi yang telah membentuk corak pemikiran Imam Syatibi. Imam Syatibi banyak belajar dari ulama besar Andalusia waktu itu, Muhammad Adam ‘Ali menuliskan ada 27 ulama Andalusia yang pernah diserap ilmunya oleh Syatibi , penulis akan singgung sebagian.



1. Syeikh Abu Ja’far Ahmad bin Hasan bin Ali bin Ziyah al-Kila’i (wafat pada tahun 728 H)

2. Syeikh bin Ali al-Fukhary al-Biry (wafat pada tahun 753 H)

3. Syeikh Abu Abdillah al-Abdary (wafat pada tahun 756 H)

4. Syeikh Abu Ja’far as-Syakury ( tidak di sebutkan tahun wafatnya)

5. Syeikh Abu Sa’id bin Lub, beliau adalah gurunya ulama Cordova (wafat pada tahun 782 H)

6. Syeikh Muhammad al-Balnasy (wafat pada tahun 782 H)

7. Syeikh bin Muhammad al-Yahshany (wafat pada tahun 773 H)

8. Syeikh Abu Abdillah al-Muqry (wafat pada tahun 759 H)

9. Syeikh Syarif al-Sabty (wafat pada tahun 760 H)

10. Syeikh Syarif at-Talmasany (wafat pada tahun 771 H)

11. Syeikh Syamsuddin (wafat pada tahun 781 H)

12. Syeikh Abu al-Qasim (wafat pada tahun 751 H)



Imam Syatibi adalah ulama yang mengamalkan ilmunya, dia juga sangat menbenci bid’ah, tentunya dengan kedalaman ilmunya itu Imam Syatibi memiliki banyak karya, penulis akan paparkan sebagian, seperti yang tertuang dalam buku al-Imam Syatibi aqidatuhu wa mauqifuhu min al-bid’i wa ahliha gubahan Muhammad Adam ‘Ali .

Kitab al-Muwafaqat
Kitab ini adalah kitab paling monumental sekaligus paling dikenal di antara karya-karya Imam Syathibi lainnya. Kitab ini terdiri dari 4 juz dan awalnya kitab ini berjudul al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif kemudian setelah Imam Syathibi bermimpi, bertemu gurunya dirubah menjadi al-Muwafaqat
Kitab al-I’tisham
Buku ini terdiri dari dua juz dan ditulis setelah Kitab al-Muwafaqat. Buku ini mengupas secara panjang lebar tentang bid’ah dan seluk beluknya. Ditulis oleh Imam Syathibi dalam suatu perjalanan khusus dan beliau meninggal terlebih dahulu sebelum merampungkan tulisannya

Maqasidu as-Syafiyah fi syarhi khulashati al-kafiyah

Buku ini terdiri dari 5 jilid dan menjelaskan tentang gramatika bahasa Arab (ilmu nahwu) Attanbakaty mengatakan bahwa dia belum pernah melihat dan membaca buku dalam disiplin nahwu yang sedalam buku ini dalam pembahasannya.

Kitab al-Majalis

Buku ini adalah sebuah komentar (syarhu) pada kitab shoheh al-Bukhary dalam bab jual-beli

Syarhu Rojaz Ibn Malik fi Nahwi

Buku ini adalah buku Ilmu Nahwu yang merupakan syarah dari Alfiyyah Ibn Malik. Terdiri dari 4 juz besar

‘Unwan al-Ittifaq fi ilmi Al-Isytiqaq

Ushul an-Nahwu

Buku ini membahas tentang Qawaid Lughah dalam Ilmu Sharf dan Ilm Nahwu. Di dalamnya dibahas Qawaid Ashliyyah seputar ilmu tersebut hanya saja sayang buku ini sudah hilang semenjak dahulu

Al-Ifaadat wa al-Insyadaat
Buku ini khusus dibuat sebagai gambaran perjalanan hidup Imam Syathibi sekaligus menyebutkan guru-guru dan murid-muridnya.
Fatawa al-Syathibi
Buku ini adalah buku paling terakhir. Hanya saja buku ini bukan dikarang langsung oleh Imam Syathibi hanya merupakan kumpulan fatwa-fatwanya yang tersebar dalam Kitab al-I’tisham dan al-Muwafaqat.
Dari keseluruhan karya Imam Syatibi hanya 3 buah karya yang dicetak, pertama al-Muwafaqat, al-I’tisham dan yang terakhir adalah al-ifaadat wa al-Insyaadat

Potret Perjalanan Maqasid Syari’ah

Seperti telah disinggung sebelumnya Imam Syatibi bukanlah peletak embrio dan peletak batu pertama konsep maqasid syari’ah, bedanya Imam Syatibi menyusun secara sistematis dan memberikan porsi yang lebih besar, ia menjelaskan maqasid syari’ah pada bagian juz 2 dari al-Muwafaqat. Seperti cabang ilmu yang lainnya maqasid syari’ah mempunyai bentangan sejarah yang panjang, nah dalam bentangan sejarahnya yang panjang itu paling tidak ada 3 orang yang paling berpengaruh dalam transformasi maqasid syari’ah sepanjang sejarah menurut Ahmad Raysuni, yang pertama adalah Abu al-Ma’ali Abdu al-Malak al-Juwaini atau lebih dikenal dengan Imam Haramain (wafat 478 H ), yang kedua Abu Ishaq as-Syatibi, dalam adikaryanya al-Muwafaqat fi ushul As-Syari’ah, dan dijuluki al-mu’allim al-awwal. yang terakhir adalah Muhammad Thohir bin Asyur (wafat 1379 H/1973 M) dalam buah karyanya Maqasid Syari’ah al-Islamiyah dia yang menjadikan maqasid syari’ah cabang ilmu yang mustaqil terpisah dari ilmu ushul fiqh hingga dijuluki al-mu’allim tsani.

Jika kita berbicara priodesasi, maka tersebutlah Abu Abdillah Muhammad bin Ali at-Turmudzi yang masyhur dengan Turmudzi al-Hakim, dia hidup pada abad 3 H atau awal abad ke 4, karena para ulama berbeda pendapat tentang tahun wafatnya dialah orang yang pertama kali menggunakan lafadh Maqasid dalam beberapa karyanya, seperti, Shalah wa maqasiduha, al-hajj wa asrarihi, dan itsbat al-Ilal, karena ia adalah seorang sufi ia mencoba menyingkap rahasia-rahasia ritual ibadah dengan polesan sufistik. Setelah itu datanglah Syeikh as-Suduq atau Abu Ja’far bin ‘Ali ibn Bawaih al-Qumi (wafat pada 381 H) dia menulis sebuah buku al-Ilal as-Syara’yi’, yang mengulas tentang sebab-sebab pensyari’atan yang diriwayatkan dari para Imam Syi’ah dalam metode penulisannya ia sedikit terpengaruh oleh Turmudzi al-Hakim , setelah itu muncul Abu Mansyur al-Maturidi (w. 333 H) penulis Ma`khadz al-Syarâ, Abu Bakar al-Qafal as-Syasi (wafat tahun 367 H) dengan buah karyanya Mahasin as-Syari’ah, Imam Juwaini (wafat tahun 478 ) akan tetapi ia tidak mengkhususkan pembahasan maqasid syari’ah dalam karangannya, seperti dalam al-Burhan, yang dapat disetarakan dengan ar-Risalah milik Syafii, kemudian Abu Hamid al-Ghazali (wafat 505 H) dalam Al-Mankhul, al-Mustasyfa dan Syifa al-Ghalil, Fakhr al-Din al-Razi (wafat. 606 H) dalam adikaryanya al-Mahshul, kemudian al-Amidi (wafat. 631 H) penulis al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Ibn al-Hajib (wafat. 646 H), ‘Iz al-Din bin Abd al-Salam (wafat. 660 H) dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, al-Qarafi (wafat. 684 H) dalam al-Furuq, al-Baydhawi (wafat. 685 H), al-Baquri (wafat. 707 H) pengarang Tartib al-Furuq, Najmuddin Al-Thufi (wafat.717 H), Ibn al-Taymiyyah (wafat. 728 H), Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (wafat. 751 H) mualif A'lam al-Muwaqqi’în, al-Maqri (wafat. 758 H) yang merupakan guru Syathibi dan penulis Qawa'id, Ibn al-Subuki (wafat. 771 H) dengan Jam'u al-Jawami', al-Isnawi (wafat. 772 H), 'Alal al-Fasi (wafat. 1973),dan yang terakhir Muhammad Thahir bin 'Asyur (wafat. 1973).

Selayang Pandang al-Muwafaqat

Al-Muwafaqat seperti telah disinggung, bermula diberi nama al-Ta’rif bi Asrar al-Taklif, karena menyingkap rahasia-rahasia pentaklifan, setelah Imam Syatibi bermimpi bertemu gurunya, dan gurunya bertanya” saya lihat kamu menulis sebuah buku, apa itu” ? Imam Syatibi menjawab al-Muwafaqat, kemudian gurunya bertanya lagi, “kenapa kau beri nama itu ? “ “karena saya ingin menyatukan antara dua mazhab Maliki dan Hanafi”, dan setelah Imam Syatibi tersadar ia mengganti nama bukunya itu . Al-muwafaqat pertama kali dikenal di Tunis oleh para mahasiswa dan para ulama Tunis saat itu. Kemudian untuk pertama kalinya dicetak di Tunisia pada tahun 1302 H atau 1884 M di Mathba’ah al-Daulah al-Tunisiyyah dengan tashih dari tiga ulama besar Tunisia saat itu yaitu: Syaikh Ali al-Syanufi, Syaikh Ahmad al-Wartany dan Syaikh Shalih Qayiji. Sedangkan di Mesir baru dicetak pertama kali tahun 1341 H / 1922 M atau setelah kurang lebih 38 tahun dicetak di Tunisia, oleh karena itu, apa yang ditulis Abdullah Darraz dalam Mukaddimah al-Muwafaqat bahwa buku ini pertama kali dicetak di Mesir, menjadi terbantahkan.
Kitab ini mulai dikenal di Mesir semenjak Muhammad Abduh mengadakan kunjungan ke Tunisia tahun 1884 M. Sejak kunjungan itulah, Abduh kemudian memperkenalkannya kepada Mesir dan langsung dicetak dua kali cetakan, yang pertama ditahkiq oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (dicetak oleh Maktabah Shabih di Mesir tahun 1969 M) dan yang kedua ditahkiq oleh Syaikh Abdullah Darraz (dicetak oleh al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra di Mesir tanpa tahun cetakan).
Di antara ulama yang mempunyai peranan sangat penting dalam mempopulerkan kitab ini adalah Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha serta murid Rasyid Ridha, Abdullah Darraz. Bahkan Rasyid Ridha melihat kitab al-Muwafaqat ini sebanding dengan al-Muqaddimah-nya Ibn Khaldun .

Mungkin sekedar penutup, walaupun Imam Syatibi bukanlah orang yang pertama menyusun konsep maqasid syari’ah, tetapi setidaknya dia telah mempunyai peran penting dalam proses transformasi maqasid syari’ah, Imam Syatibi membahas konsep maqasid syari’ah secara sistematis dan mendetail. Penulis hanya bisa mengutip perkataan M. Rasyid Ridha yang ia tulis dalam muqaddimah al-i’tisham untuk mengomentari dua karya besar Imam Syatibi yaitu al-Muwafaqat dan al-I’tisham “ qalilun minka yakfiina wa qaliluka la yakunu qalilan “ sedikit darimu telah cukup bagi kami, dan sedikit hal darimu, tidaklah dikategorikan sedikit.


baca selengkapnya..


Sejarah Wilayah
Potret perjalanan Terbentuknya Sebuah Konsep
Oleh : Humaidi Hambali

“Wilayah al-Faqih adalah anugerah dari Allah SWT bagi kaum Muslimin”
(Ayatullah Ruhullah Khomaeni)

Prolog

Orang Syiah berkeyakinan bahwa Imamah adalah sebuah rukun iman yang harus di yakini, seperti halnya iman kepada Allah, iman kepada para Rasul. Kewajiban imamah ini di nash oleh Allah SWT atas Sayyida Ali- karamallah wajha- dan di sampaikan oleh nabi Muhammad SAW pada hari setelah kepulangannya dari haji wada’ yang kemudian di sebut dengan yaum al-Ghadir. Dan hadist yang disampaikan Rasulullah di sebut Hadist al-ghadi r, dan kaum Syiah merayakan hari ini setiap tahun yang jatuh pada tanggal 18 Dzulhijjah, atas dasar inilah kaum Syiah meyakini bahwa Rasulullah telah mewasiatkan bahwa pengganti beliau sebagai penerus Imamah adalah anak dari pamannya yaitu Sayyidina Ali, kedudukan imam menurut mereka sama dengan kedudukan Nabi Muhammad SAW, dan oleh karena itu, kedudukan seorang imam lebih tinggi ketimbang para nabi yang lainnya, bahkan mereka juga ma’shum (terlepas dari kesalahan-kesalahan) sebuah doktrin yang agak ganjal bagi kita yang bukan golongan syiah, tetapi begitu doktrin imamah begitu melekat di tubuh teologi syiah, bahkan seorang belum bisa di kategorikan seorang syiah hanya dengan mencintai ahlu al-bait (keturunan-keturunan Nabi) tetapi ia juga harus meyakini bahwa Sayyidina Ali adalah seorang imam. Seorang imam menurut Syiah adalah seseorang yang ditunjuk oleh Allah dan Rasul-Nya untuk mengatur urusan mereka baik perkara yang menyangkut kepentingan dunia bahkan urusan-urusan yang bersifat akhirat.

Silsilah Imam menurut Syiah Istna Asyariah adalah dari Sayyidina Ali sampai pada Imam yang ke 12 yaitu Imam Mahdi al-Muntazhar . dan sebagian dari kaum Syiah Ista Asyariah meyakini bahwa Imam yang ke 12 Muhammad bin Hasan secara terang-terangan mengakui keimanannya setelah kelahirannya dan sujud kearah kiblat. Dan Mahdi al-Muntazhar memiliki dua tahapan Gaib . pertama : Gaib Sughra, yaitu dimulai dari sembunyinya sang Imam di sebuah gua sampai pada tahun 329 H bertepatan pada tahun 940/941 M. Dan estafet kepemimpinan di teruskan oleh 4 imam pengganti beliau yaitu : Umar Ustman bin Said Umar, Abu Ja’far Muhammad bin Ustman bin Said, Abu al-Qasim Husain bin Ruh, dan yang terakhir adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad as-Samary. Sedangkan yang kedua yaitu Ghaib kubra yaitu dimulai dari mangkatnya seorang Imam yang terakhir Abu Hasan Ali bin Muhammad as-Samary pata tahun 329 H bertepatan dengan tahun 940/941 Masehi.

Syiah beranggapan bahwa pentingnya sebuah komunitas masyarakat di pimpin oleh seorang Imam karena keberlangsungan hidup didunia tergantung seorang pemimpin (Imam) dan kontuinitas Risalah Tuhan tergantung pula oleh seorang Imam, karena dialah yang ma’shum diantara para manusia oleh sebab itu dialah tempat kita bertanya tentang masalah Agama, dan juga urusan dunia. Imamah adalah sesuatu hal yang membuat kita dekat dengan kebaikan dan sebaliknya kita jauh dari segala keburukan.
Berangkat dari persepsi bahwa Wilayah Ali di berikan dari Rasulullah SAW melalui hadisnya, dan hal itu pula menurut kaum Syiah bahwa hal itulah yang menyebabkan turun surah al-Maidah ayat 3:
اليوم اكملت لكم ديناكم و اتممت عليكم نعمتي و رضيت لكم الاسلام دينا

Wilayatul Faqih selanjutnya adalah sebuah konsep yang di usung orang-orang syiah untuk meneruskan estafet perjalanan Imamah setelah ke-Ghaib-an seorang Imam. Dan bagaimana sebuah konsep Wilayah al-Faqih bisa terwujud dibawah naungan Wilayah seorang Imam, dan bagaimana konsep Wilayah yang bersifat Tasyri’ bisa jatuh atau turun kepada seorang Imam yang menurut pandangan kaum Syiah mereka adalah orang-orang pilihan yang Ma’shum. Mungkin elaborasi di bawah perlu untuk di perhatikan. Tentang apa itu Wilayah, dan siapa yang berhak memiliki wewenang kekuasaan untuk mengatur manusia dalam hal Agama.

Sekilas Makna Wilayah

Sebelum kita beranjak lebih jauh tentang wilayah, kita harus mengetahui makna wilayah, para pakar fiqh lughah mengatakan bahwa wilayah adalah pertolongan, dan kekuasaan atau adanya sesuatu otoritas pihak pertama pada pihak kedua. Maka dalam praktek wilayah diharuskan adanya sebuah kerelaan (tanpa paksaan) dan kedekatan agar terjadi tasarruf diantara dua pihak, maka kata wilayah mengandung pengertian pertolongan, kecintaan dan kedekatan. Oleh karena itu suatu tindakan pemaksaan tidak termasuk dalam kategori wilayah, karena tidak menunjukkan adanya kedekatan dan kecintaan, kata wilayah sama sekali tidak mengandung pengertian sebuah praktek hegemoni, akan tetapi adanya sebuah sistem kebebasan, dalam artian tidak ada paksaan dalam wilayah . Kita bisa simpulkan bahwa wilayah ialah terjadinya sesuatu diantara dua pihak tanpa adanya sebuah paksaan melainkan karena kedekatan, dan kecintaan.

Ketetapan Wilayah

Allah SWT telah menciptakan segala hal untuk kita manfaatkan, aset-aset yang berharga yang berada di dunia semua di ciptakan untuk kita manusia sebagai khalifah di muka bumi ini, dan oleh karena itu pula di tangan Allah segala peraturan, ketetapan dibuat, Allah membimbing kita, mendidik kita menentukan jalan kita sebagai hambanya, dan tentunya sesuai kemaslahatan, baik dunia maupun akherat, dengan kata lain Allah mempunyai hak kekuasaan (wilayah) untuk kita. Allah tidak akan membuat sesuatu konsep hukum kecuali mempunyai kemaslahatan bagi hambanya, tapi sesungguhnya manusia itu lemah mempunyai keterbatasan akal untuk mengetahui keseluruhan maslahat dibalik hukum Tuhan tersebut . Allah berhak untuk memerintahkan hambanya apa-apa yang baik bagi manusia dan berarti Allah juga berhak untuk melarang hambanya untuk melakukan sesuatu yang mengandung bahaya dan kerusakan. Dan manusia sebagai seorang hamba harus tunduk kepada hukum syariat yang telah ditetapkan oleh Tuhan dengan menerimanya dan menjalankannya dalam lini kehidupannya.

Hukum Tuhan bisa sampai kepada kita dengan perantaraan seorang utusan, Rasul atau Nabi-Nya melaui wahyu, maka wajib juga bagi manusia untuk taat dan patuh terhadap apa-apa yang di sabdakan para utusan Tuhan tersebut , akan tetapi ketaatan disini hanya sebagai sebuah petunjuk, Rasul tidak mempunyai kekuasaan mutlak seperti halnya Tuhan, ia hanya perantara untuk menyampaikan hukum-hukum Tuhan, begitu juga seorang Faqih ia hanya sebagai penjelas, penyampai hukum-hukum Tuhan kepada manusia.

Akal manusia bisa menentukan dan memutuskan hal-hal yang menurutnya baik untuk dilakukan oleh orang lain, oleh sebab itu akal manusia juga mewajibkan untuk mentaati orang yang telah membimbing kita dan menunjukkan jalan yang lurus walaupun ia adalah manusia biasa seperti kita. Dan oleh karena itu, kita juga wajib mentaati kedua orang tua kita yang telah merawat kita dan mengasuh kita serta membimbing kita dalam menjalani hidup ini, bahkan hukum Tuhan pun menyuruh kita untuk itu.

Dan dari paparan diatas bisa di ambil benang merah bahwa pada dasarnya, seorang manusia adalah bebas, tidak ada paksaan baginya untuk melakukan apapun yang ia inginkan. Kekuasaan hanya milik Allah, hanya Allah yang mempunyai wewenang hak prerogatif untuk mengatur ciptaannya, yaitu manusia. Akan tetapi tidak mungkin hal itu bisa terjadi tanpa adanya seorang perantara yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan, maka di utuslah seorang Rasul atau Nabi untuk menjelaskan hukum, ketetapan –ketetapan dari Tuhan. Dan berarti kita juga wajib mentaati para utusan tersebut karena ialah yang mengetahui hukum Tuhan tersebut.

Setelah jelas bahwa adanya Wilayah – kekuasaan- pada Allah SWT sebagai pencipta, baik wilayah berupa takwin ataupun tasyri’. Dan wilayah Allah yang berupa tasyri’ itu bisa turun kepada para Rasul dan Nabi dan juga kepada para Imam Ma’shum menurut kaum syiah, sebagaimana di jelaskan dalam al-Qur’an dan Hadist. Oleh sebab itu ketaatan kepada para imam tersebut merupakan suatu kewajiban, kewajiban ini bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, akan tetapi bersifat Irsyadiah dengan kata lain karena para Rasul telah membimbing kita, mengajarkan hukum-hukum sakral Tuhan, maka kita harus taat kepada mereka. Bukan sebuah ketaatan yang menyaingi ketaatan kita pada Tuhan.

Ada beberapa ayat al-Qur’an yang secara jelas menyatakan adanya Wilayah bagi para Rasul dan Nabi, dan juga bagi para Imam menurut kaum Syiah. Untuk mengukuhkan argumentasi mereka tentang adanya otoritas seorang Imam untuk mengatur manusia.

Pertama : Surah al-Baqarah ayat 124 tentang adanya Wilayah bagi Nabi Ibrahim

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim (QS: al-Baqarah 124)

Menurut kaum Syiah ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT, menjadikan Ibrahim sebagai hamba sebelum ia dijadikan seorang Nabi, dan dijadikan seorang Nabi sebelum dijadikan seorang Rasul, dan dijadikannya Ibrahim seorang Rasul sebeklum dijadikan al-Khalil (kekasih), dan dijadikan ak-khalil sebelum dijadikan seorang Imam. Dan dari sini pula Allah mengungkapkan sesengguhnya Imamah itu dengan nash.

Ayat kedua : Surah as-Shad ayat 26

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Maksud dari ayat ini adalah bahwa Allah telah memilih Nabi daud menjadi memimpin untuk memimpin kaumnya, untuk mengatur manusia sesuai dengan syariat, dan sebagai seorang Imam ia harus berlaku adil, karena Allah telah berjanji barang siapa yang tersesat dari jalannya maka ingatlah azab pada hari akhir
Ayat ketiga : Surah al-Ahzab ayat 6

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).

Dari ayat-ayat diatas kaum Syiah Istna asyariah berkesimpulan bahwa adanya sebuah hak otoritas pada diri Nabi untuk mengatur manusia, pada ayat terakhir Allah SWt menyatakan bahwa Nabi Muhammad aula bilmukminin dalam artian bahwa jikalau seorang mukmin melihat adanya sesuatu kecintaan dan kewibawaan maka Nabi lebih berhak untuk mendapatkan hal itu, dan seorang mukmin harus mendahulukan kepentingan Nabi daripada kepentingan pribadi, semisal Nabi diliputi bahaya maka seorang mukmin harus menghilangkan bahaya yang dihadapi sang Nabi, itu adalah sebuah bentuk ketaatan dan kecintaan seorabng terhadap Nabinya. Syeikh Ali as-Shobuni ketika menafsiri ayat ini menyatakan bahwa Nabi lebih berhak untuk dicintai dan perintahnya harus kita laksanakan dan menta’ati Nabi adalah sebuah kewajiban pendapat senada juga diungkapkan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya, dengan kata lain Nabi memiliki sebuah otoritas untuk mengatur manusia dalam urusan jiwa dan harta, maka otoritas kekuasaan Nabi (wilayah) lebih kuat, seperti seorang bapak yang juga memiliki wilayah terhadap anak kecilnya untuk mengatur sang anak, begitu juga Nabi karena dia mengetahui kemaslahatan umatnya. Dan adapun dalam masalah yang bersifat individual seperti masalah seorang menthalak isterinya, mengawinkan anaknya maka itu bukan dari pembahasan konteks ayat tersebut, artinya seorang mukmin lebih berhak dalam urusan pribadinya .

Sedangkan yang dijadikan landasan bagi kaum syiah untuk mengatakan bahwa setelah Nabi memiliki otoritas kekuasaan (wilayah) lalu Nabi mempercayakan Ali sebagai pemimpin setelah Nabi menurut kaum Syiah yang terdapat dalam Hadist al-Ghadir , hadist inilah yang dijadikan pijakan bagi kaum syiah bahwa estafet kepemimpinan setelah Rasul yang berhak memimpin adalah sayyidina Ali, bahwa Rasul telah memilih sendiri Ali sebagai penggantinya. Dan kaum Syiah juga mengatakan bahwa Ulama juga mempunyai otoritas kekuasaan karena dia adalah pewaris para Nabi, berarti dia juga memiliki apa-apa yang dimiliki Nabi Muhammad sebagai orang yang mewarisi.



Beberapa Tingkatan Wilayah

Wilayah Shugra

Wilayah atau kekuasan disini tidak mutlak dalam artian seorang imam tidak memiliki otoritas penuh untuk mengatur umatnya dalam segala urusan. Seperti Wilayah yang di miliki Syeih Muhammad Husain al-Isfahani, Syeih al-Anshary dan Said Khui’

Otoritas Wilayah yang dimiliki Imam pada tingkatan ini hanya sebatas Fatwa dan Qadha pada urusan yang berhubungan dengan harta (materi), jikalau ada suatu keadaan yang mendorong seorang Imam untuk mengeluarkan atau menggunakan otoritasnya sebagai seorang Imam, seperti adanya kasus pencurian, maka ia hanya berhak untuk mengurusi bagaimana barang yang di curi itu bisa kembali, ia tidak mempunyai otoritas hukum untuk mengadili pencuri tersebut, dengan memotong tangan misalnya, atau dengan memenjarakannya, dan lain sebagainya, ia hanya mempunyai otoritas untuk mengurusi harta yang di curi saja.
Oleh karena itu tidak ada hak bagi seorang faqih kecuali qadha’ dan memberikan fatwa, atau ia juga tidak mempunyai otoritas untuk mengambil hak-hak orang kafir, atau sebaliknya memberikan kemaslahatan bagi orang-orang kafir. Maka para ulama berpendapat tidak adanya dalil yang qat’i kecuali pada masalah qadha’, maka tidak bisa menjadikan seorang faqih pada saat ke-ghaib-an sang imam memberikan wilayah secara mutlak kecuali memberikan fatwa dan qadha’ pada urusan harta saja.


Wilayah Mutlaq

Wlayah disini adalah wilayah secara keseluruhan seorang Faqih mempunyai otoritas penuh, apabila ia melihat adanya kemaslahatan dalam hal apaun baik pengurusan harta, jiwa manusia dan maslahah dalam daerah orang-orang Islam maka itu menjadi otoritasnya.

Tetapi dalam permasalahan ini hanya Syeikh an-Nuraqi saja yang berani mengemban wilayah ini. Dan dia menggunakan beberapa argumen untuk melandasi dasar pemikirannya tentang wilayah mutlak ini pertama hadist Nabi SAW yang menyatakan bahwa Ulama adalah pewaris para Nabi. Dari hadist ini dia mengambil kesimpulan bahwa segala yang dimiliki Nabi baik otoritas untuk mengatur manusia dalam hal syariat, politik, sosial dan segalanya berarti otoritas itu juga di miliki oleh para ulama sebagai para pewaris Nabi, orang yang diwarisi berhak mendapatkan segala hal yang dimiliki pewaris, karena mereka adalah pengganti Nabi. Hadist yang juga dipakai untuk menguatkan pendapatnya hadist Nabi yang berbunyi “ sesungguhnya segala sesuatu berjalan diatas tangan para ulama”

Akan tetapi argumentasi mereka memiliki beberapa kelemahan dalam menetapkan konsep adanya wilayah mutlak bagi sang Imam apalagi jika otoritas wilayah ini bisa sampai ketangan seorang Faqih pertama bahwa hadist yang di kemukakan Syekh an-Nuraqy posisinya adalah doif sanad

Yang kedua bahwa Riwayat atau hadist yang di jadikan landasan oleh syeik an-Nuraqy banyak terdapat pada bab yang menerangkan tentang keutamaan ilmu (fadhilah al-ilmi)
Yang ketiga sesungguhnya Nabi yang di dalam hadist tersebut posisinya sebagai pewaris bukan berarti Nabi mewariskan segala hal, apalagi otoritas untuk mengatur manusia dalam urusan agama, akan tetapi yang diwarisi Nabi yang sesuai dalam konteks riwayat ini adalah menyampaikan ajaran agama menyebarkan petuah-petuah agung Nabi, dan menjelaskannya kepada manusia guna menyinari problem masyarakat dimana seorang ulama itu berada. Bukan berarti seluruh otoritas Nabi jatuh ketangan seorang Imam yang Ma’shum (menurut kaum Syiah)

Keempat bahwa adanya wilayah secara mutlak itu tidak menyeluruh bagi para Nabi, apalagi jika wilayah itu dinisbatkan pada seorang Imam bahkan seorang Faqih seperti Nabi Nuh, Isa, Ibrahim dan Nabi Musa dengan strata wilayah yang berbeda-beda. Dan jikalau dikatakan bhwa ulama adalah pewaris para Nabi, bagaimana lafadh ulama yang bersifat mutlak (umum) mentakwilkannya pada fuqaha saja, pada zaman ghaibah dan juga tidak adanya indikasi yang mengarah kearah penafsiran tersebut
Kesimpulan dari paparan diatas bahwa hadist yang digunakan an-Nuraqy dalam membungkus konsep wilayah secara mutlak bagi seorang Imam dan Faqih itu rapuh dengan alasan yang telah dikemukakan diatas.

Wilayah Wustho

Para Fuqaha syiah mengatakan bahwa masalah wilayah al-faqih adalah wilayah wustho itu sendiri bahkan permasalan wilayah wustho sudah menjadi suatu kesepakatan dan menjadi sebuah keniscayaan dalam mazhab Syiah dalam kurun waktu yang lama. Yang di maksud dengan wilayah disini menjadikan seorang faqih memiliki otoritas untuk mengurusi urusan umat sebagai pengganti dari Imam Ma’shum pada saat ghaibah untuk menegakkan hukum Islam.

Kita mengetahui bahwa sesungguhnya Allah menurunkan Rasulnya di muka bumi ini, untuk menyinari manusia membawanya dari jalan kegelapan menuju jalan yang diridhoi Allah, mungkin permasalahan yang dihadapi manusia pada zaman Rasul, tidak sekompleks yang dihadapi manusia saat ini, seiring waktu berjalan manusia dihadapkan pada permasalahan yang begitu dahsyat, maka seorang pemimpin yang mengatur manusia haruslah orang-orang pilihan, dan tujuan adanya pemimpin adalah adanya kontuinitas kehidupan manusia dibawah naungan syariat Islam yang agung maka sorang waliyul muslim harus memiliki persyaratan, maka seorang wali harus memiliki sifat sebagai berikut :

Pertama : seorang wali harus mengetahu undang-undang Islam dan mengetahui Fiqh Islam, bagaimana ia bisa menjawab problematika manusia kalau ia tidak mengetahui Syariat Islam secara mendalam.

Kedua : ia harus memiliki sifat adil, yang dimaksud adil disini adalah seorang wali harus memiliki sifat takwa dan wara’ yang bisa dilihat dari kepribadiaanya yang mempunyai semangat untuk menegakkan syariat dan hukum-hukum Allah dan berpegang teguh atas peraturan dan hukum Islam, maka seorang faqih seperti yang dikemukakan Khomaini telah memenuhi persyaratan itu, ia bertindak sesuai apa yang dilakukan Rasul, tidak kurang dan juga tidak lebih, ia harus berlaku amanah terhadap harta umatnya.

Ketiga : wali muslim memiliki intelektual yang mumpuni untuk mengatur dan mengurusi umat, karena ia harus menegakkan maslahah manusia.

Keempat seorang wali juga harus peka terhadap perkembangan zaman dan problematika yang melingkupinya baik dari segi sosial, ekonomi dan perkembangan di dunia luar, karena hal itu bisa membantu untuk memberikan sebuah keputusan yang bijak, yang berlandaskan atas kemaslahatan manusia. Dan juga mengetahui kebudayaan dan perkembangan pemikiran dan juga permasalahan fiqh kontemporer, seperti masalah Bank, ekonomi Islam, karena pada saat ini manusia dihadapkan pada permasalahan yang harus di jawab dalam perspektif Fiqh Islam .



Epilog

Dari paparan singkat diatas bahwa konsep wilayah al-faqih, yang di cetuskan kaum syiah untuk meneruskan estafet perjalanan imamah, yang sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi kaum syiah, karena Imamah adalah sesuatu yang harus diyakini karena dia termasuk dari rukun iman (menurut Syiah) karena sebuah komunitas harus dipimpin oleh seorang yang bisa membimbing kita, menunjukkan jalan kita, oleh sebab itu di pilihlah orang-orang yang ma’shum karena dialah yang lebih mengetahui kemaslahatan umat ketimbang orang-orang lain disekitar kita, dia lebih mengetahui apa-apa yang baik bagi manusia, dan apa yang buruk bagi manusia yang harus ditinggalkan, karena dia bebas dari kesalahan-kesalahan. Dan berpegang pada hadist bahwa ulama adalah pewaris para nabi, berarti dia juga memiliki sebuah otoritas untuk mengatur manusia (wilayah) seperti yang dimiliki nabi, walaupun ulama dalam konteks hadist tersebut bersifat mutlak, tetapi syiah mentakwilkannya dan mengkhususkannya hanya fuqaha, karena dia lebih mengetahui hukum Tuhan, lebih mengerti makna-makna yang terselubung dari firman-firman suci Tuhan.

Mungkin konsep wilayah dan Imamah kaum syiah, terlahir dari sebuah kefanatikan, Imam menurut mereka adalah orang-orang yang ma’shum, maka dialah yang pantas mendapatkan hak otoritas untuk mengatur manusia.

Sedikit kesimpulan dari paparan diatas bahwa kaum syiah mengatakan bahwa hak otoritas kepemimpinan dan wilayah telah diberikan Rasul SAW pada Sayyidina Ali ketika Nabi pulang dari haji wada’ yang disebut dengan hadis al-ghadir, imamah itu terus berlangsung sampai pada Imam ke12, pada saat Imam ke 12 ghaib, maka kepemimpinan harus terus berlangsung, karena keberlangsungan agama Allah tergantung seorang Imam, maka munculah konsep wilayah al-Faqih, dan mereka melandaskan konsepnya itu dengan hadist nabi bahwa, para ulama adalah pewaris para Nabi, dan berarti mempunyai otoritas sama sepeerti Nabi, dan nereka (kaujm Syiah) mengkhusukan Ulama pada Fuqaha, karena menurut mereka fuqaha lebih mengerti tentang kemaslahatan manusia ketimbang orang-orang lain.


baca selengkapnya..


FIQH RASIONAL ABU HANIFAH
Sebuah Pembacaan Sosio-historis


Judul Buku : Abu Hanifah Hayatuhu wa ashruhu Aro’uhu wa Fiqhuhu
Penulis : Dr. Muhammad Abu Zahra
Tebal : 406 halaman
Penerbit : Dar al-Fikr al-Araby
Cetakan : II
Tahun penerbitan : 1997


Adalah Muhammad bin Ahmad bin Musthafa bin Muhammad bin Abdillah, yang lebih di kenal dengan nama Abu Zahra, seorang intelektual Mesir, yang banyak menulis tentang biografi ulama pendiri mazhab, ia juga aktif di Majma al-Buhuts al-islamiyah. kali ini beliau pengupas tentang biografi Abu Hanifah – pendiri mazhab Hanafiah -, Abu Hanifah di lahirkan pada tahun 80 Hijriah, menurut riwayat terkuat dari ahli sejarah, ia lahir di Kufah, dari seorang ayah bernama Tsabit bin Zauti al-Farisi. Ia bernasab Farisi, (Persia) dan berarti Abu Hanifah adalah seorang mawali (sebutan bagi orang selain Arab) tapi hal itu tidak mengurangi kesempurnaan dan kepandaian beliau, faktanya banyak sahabat dan ulama yang lahir bukan dari bangsa Arab seperti Hasan bin Abi Hasan, Muhammad bin Sirrin. Ahli Fiqh di Bashrah, Atho’ bin Abi Robah, Mujahid, Said bin Jabir, Salman bin Yassar dan masih banyak lagi.

Jenjang Studi Abu Hanifah
Kota Kufah adalah salah satu kota yang berperadaban di Iraq, Iraq sendiri pada waktu itu terdapat beragam sekte Teologi dan pemikiran, sebelum Islam datang, di kota Kufah sudah terdapat sekolah-sekolah yang mengajarkan tentang Filsafat Yunani dan Persia, juga terdapat beberapa sekte dari Nasrani yang acapkali beradu argumen tentang masalah-masalah aqidah, dan setelah Islam masuk, di Kufah terdapat mazhab-mazhab dan sekte yang sangat variatif, maka terjadilah perpecahan dalam politik dan aqidah, antara Syi’ah, Khawarij dan sekte Mu’tazilah. Tak pelak keadaan ini memancing geliat Abu Hanifah muda untuk meluruskan semua itu, Abu Hanifah melakukan dialog dengan mereka, untuk memberi pencerahan kepada mereka, memang interaksi yang di lakukan Abu Hanifah hanya sebentar kemudian Abu Hanifah berbelok hatinya, dan memutuskan untuk berdagang di pasar. Walaupun terkadang ia mendatangi majlis, tetapi itu jarang sekali ia lakukan , ia lebih sering menyibukkan dirinya dalam berdagang, hingga pada suatu hari petunjuk Allah datang melalui seseorang bernama Syu’ba, ia menyarankan kepada Abu Hanifah untuk belajar kepada ulama, karena Syu’ba melihat adanya kecerdasan dan semangat untuk melakukan perubahan dan pencerahan pada sosok Abu Hanifah. Dan akhirnya Abu Hanifah pun menuruti nasehat yang di berikan Syu’ba kepadanya. Pada masa-masa awal pengembaraan intelektual Abu Hanifah, ada 3 varian halaqah yang di datangi Abu Hanifah menurut analisa pakar sejarah, yang pertama : adalah halaqah mengenai dasar-dasar aqidah dan tempat ini di hadiri oleh beberapa sekte dan golongan. yang kedua : Abu Hanifah sering mendatangi halaqah yang membahas tentang Hadist-hadist baik dirayah maupun riwayah. Sedangkan halaqah yang terakhir yang sering di datangi Abu Hanifah adalah Halaqah tentang Fiqh dan fatwa-fatwa yang menyikapi tentang permasalahan hukum agama yang terjadi pada saat itu (al-masa’il al-waqi’iyah)
Bukan hanya sekedar itu, Abu Hanifah, menyelami seluruh khazanah intelektual Islam pada masanya, belajar ilmu kalam dan mengambil intisari darinya yaitu ilmu tentang berdebat, menghafal al-Qur’an menurut bacaan imam ‘Ashim, dan menghafal beberapa Hadist serta mempelajari Gramatika Arab beserta sastranya. tetapi pada akhirnya Abu Hanifah memusatkan pengembaraan intelektualnya, dan mencurahkan pikirannya pada kajian seputar Fiqh.
Abu Hanifah mengambil ilmu dari para pakar pada bidangnya masing-masing. Belajar ilmu Fiqh dari seorang pakar bernama Hammad Ibn Abi Sulaiman, Hammad sendiri mengambil intisari dari fiqh Ibrahim an-Nukha’i, ia adalah ulama yang paling paham tentang fiqh Ibrahim an-Nkha’i di Kufah, oleh karena itu Fiqh Hanafi sangat kental dengan corak pemikiran Ibrahim an-Nukhai, dan Abu Hanifah menemani Hammad selama kurang lebih 20 tahun sampai Hammad wafat pada tahun 120 H, dan ketika itu umur Abu Hanifah genap 40 thn, pada saat kematangan psikologis dan kesempurnaan rasionalis seseorang. Pada saat melakukan perjalanan ke Mekkah Abu Hanifah juga menyempatkan belajar kepada Atho’ Ibn Abi Ribah, selama berada di Makkah Abu Hanifah selalu belajar kepadanya, sebuah riwayat menyebutkan Abu Hanifah melakukan ibadah Haji sebanyak 55 kali dalam hidupnya, terlepas dari riwayat itu benar atau tidak, yang jelas Abu Hanifah sering melakukan perjalanan Ke Mekkah untuk menuntut ilmu dan berdakwah. Sedangkan di Iraq sendiri Abu Hanifah banyak belajar kepada para Ulama Syi’ah dari beberapa sekte, seperti sekte Kaisaniyah, sekte Zaidiyah, Isma’iliyah dan Syi’ah Istna Asyarah. Dan masing-masing dari mereka memberikan pengaruh tersendiri bagi perkembangan berfikir Abu Hanifah. Oleh karena itu, bisa kita ambil benang merah, bahwa Fiqh Hanafi adalah Fiqh Islam dengan beragam corak, tetapi yang paling dominan pada corak Fiqh Abu Hanifah adalah Fiqh rasionalis bahkan dia sendiri adalah gurunya para ulama fiqh rasionalis.
Abu Hanifah lahir pada Tahun 80 H, pada masa Dinasti Umayyah berkuasa di bawah kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan. Abu Hanifah menyaksikan masa-masa perkembangan Dinasti Umayah hingga akhirnya tumbang. Abu Hanifah Hidup sampai tahun 150 H, artinya ia juga hidup pada masa pertumbuhan Dinasti Abbasiyah , Abu Hanifah menemui masa Dinasti Umayah lebih banyak ketimbang Dinasti Abbasiyah, ia hidup pada masa Dinasti Umayyah berkuasa selama 52 tahun, pada masa itulah kondisi intelektual berkembang, akan tetapi iklim intelektual memang bukan muncul dari pemerintah, akan tetapi di hembuskan oleh komunitas masyarakat, dan mereka adalah pewaris ilmu para sahabat. Abu Hanifah menemui masa Dinasti Abbasiyah hanya 18 tahun. Akan tetapi, pada masa pertengahan Dinasti Abbasiyah dan akhir Daulah Umayyah, pada masa dimana Abu Hanifah Hidup, kondisi intelektual bisa di bilang kurang mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Karena pada masa Daulah Abbasiyah, pemerintah lebih mengkonsentrasikan diri untuk membangun kembali, peninggalan yang di tinggalkan Dinasti Umayyah, kurang memperhatikan segi intelektual pada saat itu.

Sekilas Kondisi Sosial dan Politik
Seperti telah kita ketahui Abu Hanifah hidup pada dua orde yang berkuasa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, maka kemudian Abu Zahra merasa perlu untuk menilik Keadaan sosial dan politik pada masa dua orde tersebut. Daulah Umayyah berdiri setelah kekuasaan Khulafa’u ar-Rosyidin lengser, pada masa Khulafa’u Rosyidin, khalifah di angkat dari orang-orang pilihan, dan tentunya atas rekomendasi Khalifah sebelumnya, atau tanpa rekomendasi khalifah sebelumnya, seperti pada masa kepemimpinan Umar dan Ali. Akan tetapi pada masa Dinasti Umayyah, sistem pemerintahan berubah dari demokrasi menjadi monarkhi, dan Muawiyah sebaagai khalifah pertama Dinasti umayah, mengambil kekuasaan dengan cara Abitrasi (tahkim). maka terjadilah konflik dan permusuhan pengiringi perjalanan Dinasti Umayyah. Kita bisa melihat pada masa itu terjadi penghinaan terhadap Ali bin Abi tholib, bahkan penghinaan dan caci makian tehadap Ahli bait hampir terjadi di setiap mimbar sholat Jum’at, anehnya hal itu hampir menjadi tradisi yang berkelanjutan, yang di pelopori oleh Mu’awiyah bin Abi sufyan, sampai pada masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.

Dan terjadi fanatisme terhadap arab di kalangan para dedengkot Dinasti umayyah, mereka terlalu membanggakan warisan arab pra Islam, memang untuk hal itu kita panut untuk mengacungkan jempol, akan tetapi fanatisme ini sudah berlebihan, sampai pada tingkat memarginalkan golongan non Arab (baca : mawalli), di acuhkan hak-hak mereka, padahal semua manusia adalah sama di sisi Allah, yang membedakan kita adalah ketakwaan kita kepada Allah, bukan nasab, jabatan, dan harta. Akan tetapi para pejabat pemerintahan Dinasti Umayyah merampas hak-hak mereka, semisal dalam hal hasil rampasan perang, tidak di bagikan secara adil, mereka mengabaikan syariat Allah dalam hal ghanaim (harta rampasan perang)
Itu sekelumit kondisi sosial politik Dinasti Umayyah secara global, adapun kondisi masa Dinasti Abbasiyah bagaikan turunnya hujan setelah musim kemarau, adanya ketentraman. Pada masa ini, para fuqoha lebih berleluasa untuk memberikan keritik terhadap pemerintah. Kecuali pada masa pemerintahan Abi Ja’far, tidak ada kasih sayang. Yang ada hanya penindasan dan diskriminasi.
Abu Hanifah menetap di Iraq, Iraq adalah tempat lahirnya, tempat di mana ia tumbuh dan berkembang, dan di sana pula ia melakukan pengembaraan intelektual, Iraq seperti telah kita ketahui, di sana hidup beragam komunitas, mulai dari Persia, Romawi, India dan Arab di Iraq juga terdapat sekte-sekte yang pelangi, dan tentunya dari semua komunitas itu melakukan interaksi sosial, dan mereka mempunyai adat istiadat yang berbeda pula, tentunya semua mempunyai pengaruh terhadap perkembangan Fiqh, dan lahan garapan para Fuqoha menjadi lebih luas. Karena masalah yang timbul dari komunitas masyarakat yang plural, lebih rumit dan kompleks.
Iraq, selain mempunyai kelebihan dari segi kondisi sosial, Irak juga mempunyai iklim intelektual yang kondusif, karena di sana terdapat berbagai sekte teologi, seperti sudah di singgung sebelumnya, seperempatnya adalah Syi’ah, baik yang moderat, sampai Syi’ah ekstrim, dan juga terdapat sekte Mu’tazilah, Jahmiyah, Qadariyah dan juga Murji’ah, oleh karena itu dengan kondisi seperti ini, Iraq adalah tempat tumbuh dan perkembangnya mazhab pemikiran, seperti terekam pada statemen Ibnu Abi Hadid, dalam sebuah bukunya, Syarhu Nahju al- Balaghah “ yang menjadi perbedaan mencolok antara Rawafid dan orang-orang yang hidup di sekeliling Rasul SAW, mereka (Rawafid) hidup di Iraq dan tinggal di Kufah, tempat di mana sekte pemikiran dan teologis berkumpul, dan komunitas ini, mempunyai insting pemikiran dan rasionalitas yang mendalam tentang teologi. Berbeda dengan mereka yang hidup di Hijaz, kondisi Sosial dan Kultural dan orang-orang yang hidup di sana tidak sama dengan mereka yang hidup di Iraq. Oleh sebab itu Iraq sangat di kenal telah melahirkan, para intelektual di bidang Teologi dan pemikiran,.

Pandangan Teologi Abu Hanifah
Sebagaimana telah di ungkapkan Abu Zahra pada awal pembahasan. Bahwa Abu Hanifah sering berinteraksi dan berdebat dengan tokoh-tokoh sekte teologis pada masanya. Dan awal pengembaraan intelektual Abu Hanifah adalah masalah Teologis, kemudian beliau berpaling dan mengkonsentrasikan diri pada kajian sekitar masalah Fiqh, sampai ia masyhur dengan Fiqh Rasionalitasnya. Akan tetapi beliau tidak memutuskan hubungan dengan para Teolog, terkadang beliau masih berdebat dan berdialog dengan mereka, jika Abu Hanifah merasa ada permasalahan Teologis yang di anggap urgen untuk di selesaikan.

Abu Hanifah sering beradu argumen dengan para dedengkot sekte pemikiran, mulai dari masalah eksistensi iman, pelaku dosa besar (al-murtakib kabir). Hal ini bisa kita lacak dari 2 hal:
Pertama : dari riwayat-riwayat, baik yang valid maupun tidak. Dan yang kedua adalah dari kitab yang di tulis Abu Hanifah tentang masalah Teologi, yaitu kitab Fiqh al- Akbar. Abu Hanifah mempunyai 4 karangan kitab, Fiqh al-akbar, Alim wa al-Muta’allim, Risalah ila Ustman bin Muslim al-Batha, dan yang terakhir adalah ar-Roddu ‘ala Qadariyyah. Dan semuanya membahas masalah Teologi. Walaupun ulama masih meragukan penisbatan Fiqh al-Akbar kepada Abu Hanifah.
Kitab Fiqh al- Akbar sendiri memiliki beberapa jalur periwayatan, diantaranya, Riwayat Hammad bin Abi Hanifah, riwayat Abi Mu’thi al-Bulkho, dan yang terakhir adalah riwayat dari Abu Mansyur al-Maturidi. Adapun penisbatan Fiqh akbar kepada Abu Hanifah dilakukan oleh sekelompok Ulama, bukan pendapat mayoritas ulama. Dan berarti penisbatan fiqh akbar masih di ragukan, dan adanya pengingkaran dari sebagian ulama.
Abu Hanifah mendefisikan iman adalah sebuah pengakuan dan pembenaran, sedangkan Islam adalah pasrah dan melaksanakan segala perintah Allah. Walau dari segi bahasa mempunyai pengertian yang berbeda, tetapi Abu Hanifah Menganggap Tidak ada Islam kalau tidak iman, begitu juga sebaliknya.
Dalam permasalahan qadhar, Abu Hanifah sangat berhati-hati, bahkan melarang muridnya untuk membicarakan masalah tersebut secara mendalam dan mendetail, Abu Hanifah memisahkan antara qadha dan qhadar, qadha adalah ketetapan Allah, yang datang dari wahyu ilahi, sedangkan qhadar adalah manifestasi dari sifat qudrah Allah. Suatu saat Abu Hanifah di tanya tentang qadhar, sebuah ketaatan dan maksiat apakah atas kehendak Tuhan atau Manusia, dan adakah batas pemisah antara iradah Tuhan dan perintahnya, lalui ia menjawab dengan arif “tidak ada pemaksaan dan pembebanan, Allah tidak akan pembebani umatnya suatu perkara yang ia tidak sanggup, dan tidak ada siksaan pada suatu perkara yang belum diketahui, dan tidak menghukum hambanya, atas perkara yang ia tidak tahu.
Dan Abu Hanifah berpendapat bahwa iman seseorang tidak bisa kurang dan tidak bisa bertambah, orang yang berbuat dosa besar tetap iman dan tidak di kategorikan sebagai golongan kafir, dan masih mempunyai iman. Sejalan dengan pendapat Malik bin Anas.



Fiqh Hanafi
Tentunya ini adalah pembahasan inti dari tela’ah Histori terhadap tokoh besar Abu Hanifah. Yang di lakukan Abu Zahra. Akan tetapi sama seperti halnya Malik bin Anas, Abu Hanifah tidak memiliki tulisan, buku tentang Fiqh. Adapun kitab yang di tulis Abu Hanifah mayoritas pembahasan tentang teologi, seperti telah di ungkap sebelumnya.
Dan Walaupun Abu Hanifah tidak menulis kitab tentang Fiqh, akan tetapi murid-murid beliaulah, yang mengumpulkan pendapat-pendapat beliau. Imam Muhammad al-Hakiyah menulis pendapat-pendapat Abu Hanifah, akan tetapi tidak terekam secara global semua pendapat Abu Hanifah, karena pertemuannya dengan Abu Hanifah sebentar, ketika Abu Hanifah wafat umur beliau baru mencapai 18 tahun. Sebuah usia yang cukup muda untuk mentransfer ilmu seorang intelektual sekaliber Abu Hanifah.
Fiqh Abu Hanifah sendiri bercorak fiqh spekulatif (Fiqh at-taqdiry) Abu Zahra mendifinisikan Fiqh Taqdiri adalah fatwa dalam sebuah masalah Fiqh yang belum terjadi, dengan cara menganalogikan dengan permasalahan yang sudah terjadi. Corak fiqh seperti ini banyak dipakai oleh ulama ahli qiyas dan rasionalis. Awalnya corak fiqh pada priode Nabi, jelas, hanya menjawab problematik umat yang sudah terjadi, kemudian pada masa Sahabat dan Tabi’in berkembang dengan metode menjelaskan hukum yang ada, dan menjaga hukum-hukum Fiqh yang sudah ada, kemudian pada masa Abu Hanifah berkembang menjadi Fiqh spekulatif, - mengkiyaskan suatu perkara yang belum terjadi, dengan hukum yang ada. Al-hujwa menduga bahwa corak Fiqh Abu Hanifah sejati tidak membicarakan fiqh taqdiri secara jelas, akan tetapi beliau mengembangkan dan merinci suatu masalah dan banyak menggunakan analogi. Fiqh taqdiri sebenarnya telah muncul sebelum Abu Hanifah Syu’ba sering menjumpai Fuqoha yang menggunakan kata “ law kana kadza” dan itu termasuk Fiqh at-taqdiri
Dalam kitab Muwafaqatnya as-Syatibi, ada sebuah Riwayat tentang nasehat Syu’ba kepada anak didiknya “ jagalah 3 perkara 1. apabila di tanya sesuatu masalah jangan teruskan dengan masalah lainnya, 2. apabila di tanya suatu masalah, jangan mengqiyaskan dengan hukum yang ada, dan terakhir apabila di tanya tentang suatu masalah, dan tidak tahu pemecahannya, maka katakan, saya tidak tahu.”
Memang di akui ada perselisihan diantara sebagian Fuqaha, tentang boleh tidaknya menggunakan metode Fiqh Taqdiri. Pada priode ke 3 H. Banyak fuqoha yang menggunakan metode tersebut, bahkan merinci suatu permasalahan sampai pada hal yang irasional. sesuatu yang tidak mungkin terjadi, seperti dalam permasalahan Khunsta Musykil
Adapun masadir al-ahkam yang dipakai Abu Hanifah dalam malakukan penggalian hukum (istinbat) adalah al-Qur’an, Hadist Nabi, Abu Hanifah juga mengakui ijma dan tentunya Qiyas, yang merupakan ciri dari fiqh taqdiri . bahkan ada yang beranggapan bahwa Abu Hanifah lebih mengutamakan qiyas ketimbang hadist, akan tetapi Abu Hanifah meruntuhkan anggapan itu, dan berkata “apakah perlu qiyas setelah adanya nash yang shorih” . Abu Hanifah menggunakan qiyas dalam istinbat setelah menemukan kesulitan dalam nash. Dan tentu ia menempatkan masadir sesuai dengan proporsinya masing-masing.
Kemudian pada Tahun 150 H, Imam agung ini di panggil oleh yang maha kuasa di Bagdad dan di kebumikan di sana, beliau telah berhasil menyuguhkan sebuah Fiqh yang luhur. Mazhab beliau tersebar mulai dari Kufah, dan setelah ulama melakukan kajian terhadap fiqh dan pendapat-pendapatnya, mazhab Hanafi meluas ke Mesir, Syam hingga Romawi dan Iraq. Termasuk daratan India dan China.


baca selengkapnya..



© 2006 De Javu | Blogger Templates by GeckoandFly.
No part of the content or the blog may be reproduced without prior written permission.
Learn how to make money online | First Aid and Health Information at Medical Health